Kaji Daikou - 5

Atur ukuran font:
When I Started Working as a Part-Time Housekeeper, I Ended Up Being Liked by the Family of the Most Beautiful Girl in the School
Saat Aku Memulai Pekerjaan Layanan Rumah Tangga Paruh Waktu, Aku Berakhir Disukai oleh Keluarga Gadis Tercantik di Sekolah

src: https://ncode.syosetu.com/n8745if/5/


Bab 5: Perasaan Toujou Ayaka #1


Sejak aku mulai bisa mengingat, orang-orang di sekitarku selalu mengatakan kalau aku imut.

Ketika di taman kanak-kanak, orang tua anak-anak lain sering berkata, "Wah, kamu imut banget," padaku.

Setelah masuk sekolah dasar, anak laki-laki sering menggodaku dan membuat keisengan. Kalau dipikir-pikir sekarang, aku rasa itu adalah cara mereka mengekspresikan perasaan suka padaku.

Keisengan dan gangguan dari anak laki-laki itu berkurang seiring bertambahnya usia. Ketika aku memasuki sekolah menengah pertama, hampir semua itu berhenti.

Sebagai gantinya, jumlah pengakuan cinta yang aku terima meningkat.

Setidaknya beberapa kali dalam sebulan, ada anak laki-laki yang mengungkapkan perasaan padaku. Dalam kasus terburuk, pernah ada seminggu penuh di mana aku menerima pengakuan cinta setiap hari.

Saat pertama kali aku menerima pengakuan dari seorang anak laki-laki, perasaan pertama yang muncul dalam diriku adalah kebingungan.

Soalnya, bagaimana mungkin aku tidak bingung saat anak-anak laki-laki yang selama ini menggangguku tiba-tiba bengatakan, "Aku suka sama kamu"? Wajar saja aku merasa bingung. Apalagi, sejak dulu aku menganggap anak laki-laki sebagai sosok yang suka mengganggu, jadi aku selalu menghindari mereka. Tidak ada satu pun anak laki-laki yang pernah bermain atau berbicara denganku.

Tentu saja, semua pengakuan cinta dari para anak laki-laki itu kutolak.

Bagiku, tidak masuk akal untuk berpacaran dengan seseorang yang aku bahkan tidak tahu kepribadiannya. Orang tuaku juga sering menasehatiku sejak aku kecil, "Yang terpenting adalah kepribadian, bukan penampilan," jadi aku semakin terpengaruh oleh pemikiran itu.

Menurutku, seharusnya ada tahapan. Pertama, saling menyapa, lalu berbicara, menjadi teman, mengenal satu sama lain, saling tertarik, dan akhirnya mengungkapkan perasaan. Jika prosesnya seperti itu, mungkin aku akan menerimanya.

Namun, semua anak laki-laki yang mengungkapkan perasaan padaku selalu mengatakan, "Aku jatuh cinta padamu sejak pandangan pertama!"

Aku tidak sepenuhnya menolak konsep cinta pada pandangan pertama, tetapi aku tidak bisa memahaminya. Oleh karena itu, aku menolak semua pengakuan cinta yang datang padaku satu per satu.

Di tengah semua itu, satu kejadian terjadi. Tiba-tiba, seorang teman yang biasanya akrab denganku menangis dan mengatakan padaku, "Jangan rebut orang yang aku sukai!"

Sejenak, aku tidak mengerti apa yang dia katakan.

Saat itu, dan bahkan hingga sekarang, aku hanya berteman dengan anak perempuan. Selain itu, karena aku menghindari anak laki-laki, tidak ada anak laki-laki yang pernah aku ajak bicara atau dekati. Dalam situasi seperti itu, mustahil aku bisa merebut orang yang dia sukai.

Aku berpikir pasti ada kesalahpahaman, jadi aku mencoba mendengarkan ceritanya meskipun dia sedang menangis.

Menurut temanku, ternyata di antara anak-anak laki-laki yang mengutarakan cinta padaku, ada salah satu yang dia sukai.

Apa yang bisa aku lakukan? Mereka yang datang padaku secara sepihak untuk mengungkapkan perasaan mereka.

Aku tidak pernah berurusan dengan anak laki-laki yang dia sukai. Bahkan, aku tidak pernah berbicara dengannya satu kali pun.

Pada akhirnya, hingga kami lulus dari SMP, hubungan kami tetap menjauh.

Setelah kejadian itu, aku semakin menghindari anak laki-laki. Selain itu, di paruh akhir masa SMP, ada alasan lain mengapa aku menjauhi anak laki-laki.

Alasan itu adalah tatapan.

Sejak kelas dua SMP, dadaku mulai tumbuh semakin besar, dan seiring dengan itu, aku semakin sering merasakan tatapan anak laki-laki. Kebanyakan dari mereka hanya melirik dari samping, tetapi ada juga yang menatapku secara terang-terangan.

Tatapan-tatapan yang menyorotiku dengan intens itu membuatku merasa takut, dan ketika aku memasuki SMA, aku mulai merasa sedikit tidak percaya pada laki-laki.

Meskipun sudah SMA, pengakuan cinta dari anak laki-laki tetap saja tidak berhenti.

Namun, belajar dari kejadian di SMP, aku dengan tegas memberi tahu teman-temanku kalau "Aku sama sekali tidak tertarik pada anak laki-laki atau percintaan." Berkat itu, hingga sekarang di tahun kedua SMA, hubunganku dengan teman-temanku berjalan lancar.

Meskipun, kalau dipikir-pikir, apakah bisa disebut berjalan lancar jika aku, seorang siswi SMA yang sedang menjalani masa remaja, hanya berteman dengan anak perempuan dan tidak ada sedikit pun bayangan percintaan? Aku masih sedikit meragukan itu.

Namun, bagi diriku sekarang, anak laki-laki hanyalah sumber masalah.

Bukti paling jelas adalah kejadian yang terjadi sesaat sebelum liburan musim panas dimulai.

Setelah upacara akhir semester, saat aku sedang bercanda dengan teman-teman membahas rencana liburan dan bersiap untuk pulang, tiba-tiba aku dipanggil melalui pengumuman sekolah.

Aku terpana dan tidak mengerti apa yang terjadi, sementara teman-temanku, terutama para perempuan, bersorak kegirangan.

Tampaknya, orang yang memanggilku adalah seorang kakak kelas dari tahun ketiga.

Namanya... kalau tidak salah, Goto. Atau mungkin Saito.

Pokoknya, karena dia menggunakan siaran pengumuman sekolah, aku tidak punya pilihan selain menanggapi panggilannya. Kurasa, itulah yang dia inginkan.

Dengan perasaan malu di sekolah yang masih ramai oleh banyak siswa setelah pulang sekolah, aku pergi ke lapangan, dan di sana ada kakak kelas itu, yang ternyata bernama Ando, atau mungkin Saito?

Tanpa basa-basi, dia tiba-tiba mengeluarkan cincin dan melamarku.

Para siswa yang melihat dari jendela sekolah bersorak dengan riuh, tetapi aku, yang merasa sangat malu dan marah karena ketidakpantasan tindakan kakak kelas itu, hanya bisa mengatakan, "Aku tidak tertarik," dan buru-buru pergi dari tempat itu.

Dari situ, ingatanku agak samar.

Saat aku sadar, aku sudah di rumah dan sedang berbaring di tempat tidur.

Di kepalaku, insiden aneh yang dilakukan kakak kelas itu terus terputar dikepalaku.

Kejadian ini pasti akan menjadi bahan pembicaraan saat liburan musim panas berakhir.

Terlebih lagi, kakak kelas yang mengungkapkan cinta padaku kali ini ternyata cukup terkenal dan populer di kalangan para anak perempuan. Aku tidak tahu apa yang membuat dia terkenal atau mengapa dia populer, tetapi satu hal yang pasti, setelah seseorang seperti dia mengungkapkan cinta padaku, pasti akan ada beberapa gadis yang memendam kebencian padaku.

Sebelum liburan musim panas dimulai, aku sudah membayangkan hal-hal yang tidak menyenangkan yang mungkin terjadi setelah liburan. Sambil tengkurap di tempat tidur, aku meraih ponselku, membuka aplikasi pesan, dan mencari nama Aizawa Saki di daftar kontak. Tanpa ragu, aku menekan tombol panggil.

Setelah beberapa kali nada dering, sambungan telepon akhirnya tersambung.


"Hallo~ Aku udah menduga kalo kamu bakal nelpon."

"Sakii~ Aku nggak mau lagi ke sekolah, aku nggak kuat."

"Besok kan sudah libur musim panas."

"Aku maunya libur musim panas selamanya."


Aku mulai mengeluh kepada sahabatku sejak SD.


"Apa sih yang dipikirin Endou-senpai itu?! Manggil aku lewat siaran sekolah, gila banget tau gak sih!"

"Hahaha, iya sih, panggilan lewat siaran sekolah itu emang keterlaluan. Aku bener-bener kasian sama kamu, Ayaka."

"Nanti kalau aku ketemu Endou-senpai di sekolah, mungkin aku bakal pelototin dia dengan penuh dendam..."

"Eh, malahan dia mungkin bakal senang! Terus, namanya itu bukan Endou-senpai, tapi Kaitou-senpai yang pakai siaran sekolah buat nembak kamu."

"Oh ya? Aku udah lupa sama namanya... Aku kelewat malu sampai nggak bisa dengar apa yang dia bilang."


Saat aku mengeluh, tawa Saki terdengar dari seberang telepon.


"Hahaha, kasihan banget si Kaitou-senpai itu. Udah susah payah nembak, tapi Ayaka nggak denger sama sekali. Hahaha."

"Yang kasihan itu aku, tau! Dia itu populer, kan? Aku pasti bakal jadi target kebencian..."

"Mungkin aja orang-orang bakal lupa selama libur musim panas?"

"Apa iya? Kayaknya kejadian ini cukup heboh, deh. Maksudku, dia bawa cincin buat lamar aku, loh."

"Hmm, ya, emang sih."


Padahal kami masih anak SMA. Melompat dari tahap pacaran langsung ke lamaran itu benar-benar nggak masuk akal.


"Aa~h, rasanya aku mending masuk sekolah khusus perempuan aja deh..."

"Kalo gitu, kita nggak bakal bisa satu sekolah, dong."

"Aku nggak mau pisah sama kamu!"


Aizawa Saki, yang sedang berbicara denganku sekarang, adalah sahabatku sejak kelas satu SD. Kami sudah berbagi semua hal, baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Saat ini, dia adalah satu-satunya orang yang bisa mendengarkan cerita-cerita anehku tanpa ada perasaan segan.


"Heh, Saki. Kamu ikut pindah sekolah khusus cewek bareng aku, yuk?"

"Jangan ngelantur deh kamu."


Dia menjawab langsung, dan aku langsung manyun. Aku cuma bercanda, tapi kalau dia benar-benar setuju, aku bakal bingung juga. Meski begitu, aku tetap protes sedikit.


"Dasar Saki pelit."

"Aku udah pernah bilang, kenapa kamu nggak coba punya pacar aja, Ayaka?"


Saran itu mengingatkanku pada hal yang pernah dia bilang sebelumnya.

Waktu itu, aku baru masuk SMA dan langsung dapat tiga kali pengakuan cinta berturut-turut, yang bikin aku stres.

Saki pernah bilang, "Biar kamu nggak didekati lagi sama cowok, kenapa nggak pacaran bohongan aja?"

Tapi kalau aku bisa punya pacar semudah itu, aku tidak akan pusing dengan pengakuan cinta ini. Jadi waktu itu, aku menolak idenya mentah-mentah.


"Itu nggak mungkin. Lagian, pacaran sama orang yang nggak aku suka cuma buat menghindari pengakuan cinta itu nggak jujur, kan?"

"Masa sih? Tapi coba bayangin, kayak di manga romantis, kamu ketemu cowok secara kebetulan, terus kalian berpura-pura pacaran buat ngehindari pengakuan cinta. Seru kan? Kamu suka yang begituan, kan?"

"Ya, sih, tapi..."


Aku menjawab ragu-ragu sambil menatap rak buku di kamarku. Di sana ada banyak manga romansa yang tersusun rapi.

Aku senang membaca manga romansa, mungkin sebagai pelarian dari kenyataan di mana aku belum pernah benar-benar merasakan hubungan cinta.

Sikapku yang berpura-pura tidak tertarik pada anak laki-laki atau hubungan asmara sebenarnya hanyalah strategi untuk membangun hubungan pertemanan yang baik. Aku juga, bagaimanapun, hanyalah siswi SMA biasa yang punya keinginan untuk merasakan cinta seperti yang lain.


"Begini, dengerin ya, denger? Awalnya kalian cuma pura-pura pacaran, tapi lama-lama kalian mulai saling menyadari perasaan satu sama lain, dan akhirnya jadi pasangan sungguhan... Kya~! Pasti seru banget!"

"Jangan kelewat semangat sendiri, kenapa."

"Jadi, kesimpulannya, Ayaka harus punya pacar bohongan!"

"Nggak mungkin. Lagian, siapa yang mau jadi pacar bohongan aku?"


Bukan bermaksud terlalu percaya diri, tapi aku tahu sedikit banyak bagaimana tindakanku bisa mempengaruhi suasana di sekolah, terutama di kalangan anak laki-laki. Kalau aku sampai menjalin hubungan, meskipun pura-pura, dengan seseorang, mungkin orang itu akan terkena banyak masalah.


"Hmm, menurutku, Ootsuki-kun yang sekelas sama kita itu cocok sama Ayaka, deh."

"Ootsuki-kun? Maksudmu... Oh, yang ranking satu di ujian?"


Aku mencoba mengingat sosok yang disebut Saki dari sudut ingatanku. Meski aku menghindari para anak laki-laki, setidaknya aku selalu berusaha mengingat nama teman sekelas.


"Ya, dia. Menurutku, Ootsuki-kun serasi banget sama Ayaka."

"Eh? Kenapa?"

"Soalnya, Ootsuki-kun tuh kelihatan lebih kalem dibanding cowok lain, nggak agresif. Terus, dia juga terkesan kayak cowok gentleman gitu."

"Begitu ya..."


Karena di sekolah aku hanya bergaul dengan anak-anak perempuan, aku tidak terlalu tahu tentang para anak-anak laki-laki di kelasku.


"Tapi, kalau dia pintar banget, bukannya dia juga populer di kalangan cewek?"


Sejak insiden di SMP, aku selalu merasa kurang nyaman dengan anak-anak laki-laki yang populer di kalangan anak-anak perempuan karena akan rentan menimbulkan masalah.


"Ya, dia emang populer, sih. Dia salah satu dari dua cowok paling populer di kelas kita."

"Kalau dua orang, siapa lagi satunya?"

"Akagi-kun."

"Yang rambutnya agak terang dan pakai anting itu, kan?"

"Benar!"

"Aku agak nggak nyaman sama dia."


Akagi-kun yang Saki bicarakan tampak agak nyentrik dan mungkin tipe yang agresif, jadi aku merasa sedikit takut padanya.


"Tapi, Ootsuki-kun juga aku nggak bisa, sih. Kalau dia populer di kalangan cewek, pasti bakal banyak masalah yang muncul."

"Aduh, padahal menurutku kalian cocok banget."

"Kenapa sih, Saki ngotot banget ngejodohin aku sama Ootsuki-kun?"

"Ini cuma rumor sih, tapi katanya Ootsuki-kun itu ikut latihan karate. Jadi, kalau dia ada di dekatmu, mungkin dia bisa lindungin kamu? Sebagai sahabat, aku jadi merasa lebih tenang kalau gitu."


Aku memang pernah mengalami beberapa kejadian ringan soal penguntit, jadi Saki mungkin khawatir tentang itu.


"Tapi, kalau gitu, dia bukan pacar dong, tapi bodyguard."

"Ya juga, sih."

"Iih! Jangan bercanda, dong!"


Meski protes, aku tak bisa menahan senyum di wajahku.

Ngobrol dengan Saki memang selalu membuat hatiku lebih ringan, bahkan ketika aku sedang merasa tidak nyaman.


"Omong-omong, besok kita jalan-jalan ke kafe yuk?"

"Wah, ide bagus! Kafe mana nih? Berhubung libur musim panas, kita coba tempat baru?"

"Boleh juga, tuh."


Saat kami sedang asyik membicarakan kafe yang akan kami kunjungi besok, suara ibuku terdengar dari arah tangga.


"Ayaka, mama mau bicara sebentar. Ayo turun ke bawah."

"Iya, Ma! Maaf, Saki, mama manggil nih."

"Oke oke, nanti kita bahas lagi soal rencana besok, ya."

"Ya, sampai nanti!"

"Sampai nanti."


Setelah menutup telepon, aku keluar dari kamarku dan turun ke ruang tamu.


DAME DESU YOOO~
SORE WA HARAM DESU!!!

Terima Kasih Telah Singgah!

Jangan lupa untuk selalu meninggalkan jejak berupa komentar
Pertimbangkan pula untuk mendukung
Gabung ke Channel WhatsApp untuk informasi dan pembaruan
Bab Sebelumnya
Daftar Isi
Bab Selanjutnya

Posting Komentar

0 Komentar